Sastra panggung sebagai sastra lisan banyak kita temukan dalam ratusan lakon yang dipertunjukkan dalam seni tradisi ludruk. Ludruk sebagai elemen sastra oral-etnik memiliki keberagaman yang luas di berbagai wilayah Jawa Timur, di mana lakon-lakon yang pernah dimainkan dengan latar masing-masing daerah itu berpijak pada mitos, legenda, sejarah, dan problematik sosial yang tak ditampik menjadi khazanah yang luar biasa untuk dapat dikembangkan oleh sastrawan, baik dalam upaya mengeksplorasinya dalam bentuk sastra berbahasa Jawa Timuran maupun ke sastra berbahasa Indonesia.
Paparan ini bisa didasarkan, pertama, jika benar ludruk semakin ditinggalkan peminatnya, dan tergerus oleh modernisasi hiburan, sementara nyaris tak ada seniman ludruk yang mengangkat dunia ludruk dalam karya sastra, maka inilah yang mungkin bisa dijadikan “bahan mentah” inspirasi bagi para penulis. “Orang-orang ludruk itu berpendidikan rendah. Malah banyak yang nggak makan sekolah,” ungkap Supali, pelawak dari ludruk Karya Budaya, Mojokerto. Supali ini pencerita ulung, dengan segudang cerita ihwal sisik-melik dunia perludrukan yang dialaminya. Namun ia tak bisa, atau enggan untuk menuliskannya. “kodrat saya adalah pelawak, bukan penulis,” katanya. Seniman ludruk terkadang terhambat dalam menceritakan pengalaman pribadinya secara utuh. Padahal, seabrek persoalan sosial-ekonomi dan politik di seputar ludruk merupakan khazanah tak ternilai dalam aspek sosiologi-antropologi seni pertunjukan tradisional. Dari situ kita bisa melihat perubahan serta pergeseran kaum ludruk ini dalam mepertahankan eksistensinya. Dan pesastra mustinya menjadikannya sebagai bahan riset dalam berkarya.
Kedua, kita mafhum bahwa kini karya sastra Indonesia tak banyak memberikan perubahan yang menonjol dalam segi kualitas. Justru kuantitas karya sastra Indonesia terus diproduksi, membanjiri toko-toko buku, dan pembaca makin kehilangan orientasi bacaan alternatif yang bermutu.
Ketiga, sastra ludruk dalam kaitannya dengan sastra Jawa. Apa yang ada di kepala kita tentang sastra Jawa? Karya-karya apa yang kita baca dalam sastra Jawa itu? Kita mengenal majalah Jayabaya di Surabaya. Juga Panjebar Semangat di Surabaya yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada era 1940-an. Lalu majalah Joko Lodhang di Jogjakarta, yang kini sudah tidak terbit lagi. Ada pula majalah Jowo Anyar di Solo. Semua surat kabar ini ditulis dalam bahasa Jawa Tengahan: Jawa-Solo dan Jawa-Jogjakarta, dengan gaya bahasa “alusan”. Politik bahasa “Jawa-alusan” ini digunakan Orde Baru-Soeharto sebagai politik pembangunan untuk melanggengkan kekuasaan. Contoh konkrit adalah penyeragaman dalam kurikulum bahasa daerah, yang ironiknya, sama sekali tak mengakses bahasa etnis yang bercacah ratusan di seluruh kepulauan Indonesia. Politik “pemiskinan bahasa” dan “pendongkelan” watak dan identitas etnisitas dijalankan dengan sangat lembut dan sitematis. Militerisme bahasa demikian, tentu saja, tak dirasa, juga ikut memerosotkan keberadaan dan perkembangan karya sastra (dalam berbagai bahasa) Indonesia dan karya sastra Jawa Timuran kini dan mendatang.
Keempat, disebabkan miskinnya dokumentasi ludruk. Suatu hari, ketika saya melakukan suatu riset tentang ludruk Jombang, saya diantar Hengky Kusuma, pegiat ludruk dari Surabaya, bertandang ke Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) untuk penelusuran data dan foto ihwal sosok seniman Cak Durasim, Cak Markeso, dan Sastro Bolet Amenan (tokoh remo Jombang). Di kantor Pak Sinarto, kepala TBJT, saya tak memeroleh data sama sekali, kecuali cerita-cerita kecil darinya yang samar-samar soal tiga sosok itu. Sungguh aneh, pikir saya, gedung Cak Durasim yang megah di samping kantor TBJT itu, tak memiliki dokumentasi yang cukup berarti tentang Cak Durasim. Lalu saya kongkow dan ngobrol-ngobrol santai dengan Mas Hengky di warkop sebelah TBJT. “Kita miskin dokumentasi ludruk dan senimannya, Mas. Untuk seniman ludruk di Surabaya saja tidak tertuliskan,” kata Mas Hengky. Lantas saya menyodorkan gagasan literasi dan pendokumentasian ludruk dalam bentuk penulisan buku. Misalnya Kronik Ludruk Jawa Timur, Ensiklopedi Ludruk, Kamus Ludruk, Kamus Istilah Ludruk, dan penulisan sejumlah biografi seniman ludruk.
Untuk memulai penggalian sastra ludruk dalam berbagai bentuk dan rambahannya, estetika dan genre-genrenya, penulisan kronik grup ludruk dan biografi senimannya bisa dijadikan langkah awal. Jelas orang ludruk tak punya waktu dan skill melakukan ini. Para jurnalis atau pesastra mungkin dapat bergerak ke sana. Langkah konkrit misalnya, penyusunan buku kronik Perkembangan Ludruk di Surabaya. Renik-reniknya bisa banyak, bisa tentang Riwayat Ludruk Patolah Akbar, Ludruk Kartolo CS, atau Ludruk RRI Surabaya. Sedangkan biografi seniman ludruk, sangatlah banyak mereka ini, misalnya, sebagaimana yang disebutkan Mas Hengky: sosok Umi Kulsum, Cak Sidik CS, Cak Kancil, Cak Muali, Cak Alimin Tunggal, Cak Anang Makruf, Yu Lasiana, S. Towo, Cak Markaban Wibisono, Cak Bakron Mustajib, Cak Munali Fatah, Cak Bawong SN (pemerhati ludruk), dan lain-lain. Karena itu, jika ludruk menjadi ikon Jawa Timur, sepantasnya sudah memiliki semacam Lembaga Pusat Pendokumentasian Kesenian Ludruk. Dan untuk itu, selanjutnya, hasil penggalian dan penelitian berupa penulisan kronik dan biografi dapat dijadikan acuan eksplorasi sastra ludruk dalam berbagai bentuk.
Sastra panggung ludruk tampaknya berhenti hanya di panggung saja dalam bentuk lakon-lakon yang sebenarnya terus dikembangkan oleh senimannya. Suliswanto misalnya, ia adalah aktor dan penulis naskah ludruk yang lahir pada 2 April 1954 di Malang, dan kini tinggal di Tambaksari Surabaya. Persinggungannya dengan teater modern juga terbilang cukup intens. Lakon-lakon ludruk yang pernah ditulisnya dan dipentaskannya antara lain: “Monumen” (1979), “Dokter Samsi” (1980-an), “Ratapan Ibu Tiri” (1987), “Gendruwo Rapat” (1987), “Sogol Sunat” (1990-an), “Fajar Sidik” (1980-an. Adaptasi dari film yang pernah mendapatkan Piala Citra dengan judul yang sama yang disutradarai Emil Sanusa, asli Lumajang, kini ia tinggal di Sengkaling, Malang), “Telogo Getih” (1982), “Siter Panguripan” (2006. Adaptasi cerpen Widodo Basuki), “Kidung Lereng Bromo” (2009. 4 episode), “Pengakuan” (2004. Lakon ini dipentaskannya bersama ludruk Irama Budaya Surabaya dalam Festival Ludruk se Jatim dan ia mendapatkan penghargaan sebagai penulis dan sutradara terbaik), “Pungkasane Lakon” (2007), “Bontotan Suroboyo” (1982), “Ken Arok” (2010), “Iblis Jurang Kwali” (1984), “Korban” (1984), “Pembunuhan di Pantai Madura”, “Gunarso Gunarsi”, “Kado Mayat”, “Misteri Pantai Madura”, dan “Putri Gunung”.
Di ruang Sawunggaling, di belakang pendopo TBJT, tergantung sebuah lukisan Cak Durasim, yang konon si pelukisnya adalah murid Dr. Sutomo. Cak Durasim di situ tampak berjas putih parlente, necis, berdasi keren, dengan senyum yang tenang, wajahnya begitu cerah, berblangkon ludrukan. Tak ada tulisan sebagai penanda bahwa itu hasil lukisan secara langsung pelukisnya saat bertemu dengan Cak Durasim. “Itu siapa yang dilukis, Pak?” tanya saya. “Lha, itu Cak Durasim, Mas. Cak Durasim!” jawab Pak Sinarto. Saya tertegun sebentar. Membayangkan banyak hal. Untung saya iseng bertanya. Ternyata, antara sastra dan ludruk, terbentang jarak yang jauh, sunyi dan terlelap di pojok sejarah.
0 komentar
Posting Komentar